Berharap 2 Miliar, yang Datang Justru Wabah

Sekitar pertengahan bulan November 2019 lalu, saya sering bercerita kepada istri soal mimpi-mimpi saya. Salah satunya soal mimpi untuk resign dari pekerjaan dan memulai wirausaha, misalkan nanti dapat uang dua miliar.

Entah uang itu hasil menang undian atau ada orang tajir baik hati yang mau memberi modal cash tanpa cicilan alias gratis. Tapi tentu saja, itu bukan uang hasil korupsi.

Kenapa harus dua milliar? Mungkin karena itu jumlah yang banyak dan saya suka angka dua.

Jelas apa yang saya inginkan itu ngelantur. Padahal, saya tidak sedang bercanda. Saya serius. Saya bahkan sudah mempersiapkan diri dengan baik, yakni mengumpulkan rencana yang siap dieksekusi. Misalnya, saya sudah siap memilah-milah porsi uang dua miliar itu nantinya untuk apa. Untuk membeli rumah 600 juta, modal usaha 300 juta. 100 juta lagi saya bagi dua, 50 juta untuk mertua dan 50 juta untuk orang tua saya. Sedangkan 1 miliar saya simpan di deposito. Saya bak seorang kiper yang sudah bersiap menerima tendangan pinalty dan akan menendang bola itu lagi.

Hampir setiap hari saya obrolkan mimpi itu kepada istri. Istri tentu hanya menganggap itu sekadar kelakar dan menanggapinya dengan santai: “yaudah atuh, dari sekarang Aak cari undian-undian yang hadiahnya dua miliar.”

Hingga akhirnya, pada bulan Desember anak pertama saya lahir. Mimpi itu masih saya ucapkan kepada istri. Apalagi, ketika kami harus terpisah jarak antara Tasikmalaya dan Bogor. Karena kami sepakat, sepertinya anak kami, Kean untuk sementara memang baiknya tinggal di rumah mertua dulu.

Setiap dua minggu sekali, saya pulang ke rumah mertua. Menempuh jarak waktu perjalanan enam jam dengan bus Budiman tiket 75 ribu. Begitu terus setiap bulan. Terhitung sudah 3 bulan lebih saya menjalani rutinitas itu. Dan saya tak pernah bosan untuk bilang: “aku pengen uang dua miliar dan buka usaha. Terus dan terus menerus.”

Sampai-sampai impian itu pun turut meracuni benak istri. Dia bahkan sempat menunjukkan buku–saya lupa judulnya, tapi yang pasti itu buku motivasi terjemahan dari bahasa Korea–tentang mimpi dua miliar. Ya, kata buku itu, setiap orang pasti pernah menginginkan menang lotere hadiah miliaran lalu berhenti dari pekerjaannya. Oh, ternyata mimpi saya itu mimpi kolektif semua kaum kelas pekerja di bumi ini.

Dan untuk kesekian kalinya, saya yakin saya siap misalkan nanti mendapatkan amanah uang dua miliar itu.

Tapi cuaca tak bisa ditebak dan nasib buruk sukar untuk dihindari. Pada 2 Maret 2020 Pak Jokowi mengumumkan dua kasus pertama virus Corona di Indonesia. 5 Maret bertambah jadi 4 orang. 8 maret jadi 6 orang. 14 Maret 96 orang. Dan kini 29 Maret, jumlah itu melonjak menjadi 1.285 orang. Penyebaran virus Corona ternyata sangat cepat sekali. Indonesia seperti baru saja mengambil lotere yang hadiahnya justru malapetaka.

Pemerintah lalu menyerukan anjuran soal social distancing physical distancing untuk mencegah penyebaran virus ini. Semua warga dihimbau untuk tetap berada di rumah–bekerja dari rumah, ibadah di rumah dan susah senang di rumah. Semuanya harus tetap dilakukan di rumah. Praktis jalanan jadi sepi dan pusat-pusat keramaian banyak yang ditutup. Beberapa daerah mulai melakukan karantina wilayah sampai batas waktu yang belum ditentukan. Tasikmalaya, adalah salah satu daerah itu.

Istri yang mestinya pulang ke Bogor untuk kembali bekerja pada 4 April nanti, harus membatalkan rencananya. Saya yang biasanya rutin dua minggu sekali pulang ke Tasikmalaya, sejak dua minggu lalu sudah tidak bisa menunaikan rutinitas itu. Semua rencana, impian, agenda besar, agenda kecil, keinginan-keingin receh untuk sekadar jajan tahu campur di jalan Jatipadang, Pasar Minggu harus tertunda semua gara-gara Corona.

Corona bak fenomena angsa hitam yang tak pernah terprediksi. Mendadak dan memberikan efek besar. Bagaimana mungkin, virus yang pertama kali muncul di dataran Wuhan, China–yang jaraknya beribu-ribu kilometer dari Indonesia—kini bisa dengan cepatnya berkunjung ke Jakarta. Corona membuyarkan segala sesuatu yang rentan.

Dari sini saya merenung, kita selalu siap dengan kejutan manis. Namun kerapkali alpa dengan kejutan yang perih. Berharap dua milliar, yang datang justru virus yang menghantui miliaran umat manusia.Berharap 2 Miliar, yang Datang Justru Wabah


Sekitar pertengahan bulan November 2019 lalu, saya sering bercerita kepada istri soal mimpi-mimpi saya. Salah satunya soal mimpi untuk resign dari pekerjaan dan memulai wirausaha, misalkan nanti dapat uang dua miliar.

Entah uang itu hasil menang undian atau ada orang tajir baik hati yang mau memberi modal cash tanpa cicilan alias gratis. Tapi tentu saja, itu bukan uang hasil korupsi.

Kenapa harus dua milliar? Mungkin karena itu jumlah yang banyak dan saya suka angka dua.

Jelas apa yang saya inginkan itu ngelantur. Padahal, saya tidak sedang bercanda. Saya serius. Saya bahkan sudah mempersiapkan diri dengan baik, yakni mengumpulkan rencana yang siap dieksekusi. Misalnya, saya sudah siap memilah-milah porsi uang dua miliar itu nantinya untuk apa. Untuk membeli rumah 600 juta, modal usaha 300 juta. 100 juta lagi saya bagi dua, 50 juta untuk mertua dan 50 juta untuk orang tua saya. Sedangkan 1 miliar saya simpan di deposito. Saya bak seorang kiper yang sudah bersiap menerima tendangan pinalty dan akan menendang bola itu lagi.

Hampir setiap hari saya obrolkan mimpi itu kepada istri. Istri tentu hanya menganggap itu sekadar kelakar dan menanggapinya dengan santai: “yaudah atuh, dari sekarang Aak cari undian-undian yang hadiahnya dua miliar.”

Hingga akhirnya, pada bulan Desember anak pertama saya lahir. Mimpi itu masih saya ucapkan kepada istri. Apalagi, ketika kami harus terpisah jarak antara Tasikmalaya dan Bogor. Karena kami sepakat, sepertinya anak kami, Kean untuk sementara memang baiknya tinggal di rumah mertua dulu.

Setiap dua minggu sekali, saya pulang ke rumah mertua. Menempuh jarak waktu perjalanan enam jam dengan bus Budiman tiket 75 ribu. Begitu terus setiap bulan. Terhitung sudah 3 bulan lebih saya menjalani rutinitas itu. Dan saya tak pernah bosan untuk bilang: “aku pengen uang dua miliar dan buka usaha. Terus dan terus menerus.”

Sampai-sampai impian itu pun turut meracuni benak istri. Dia bahkan sempat menunjukkan buku–saya lupa judulnya, tapi yang pasti itu buku motivasi terjemahan dari bahasa Korea–tentang mimpi dua miliar. Ya, kata buku itu, setiap orang pasti pernah menginginkan menang lotere hadiah miliaran lalu berhenti dari pekerjaannya. Oh, ternyata mimpi saya itu mimpi kolektif semua kaum kelas pekerja di bumi ini.

Dan untuk kesekian kalinya, saya yakin saya siap misalkan nanti mendapatkan amanah uang dua miliar itu.

Tapi cuaca tak bisa ditebak dan nasib buruk sukar untuk dihindari. Pada 2 Maret 2020 Pak Jokowi mengumumkan dua kasus pertama virus Corona di Indonesia. 5 Maret bertambah jadi 4 orang. 8 maret jadi 6 orang. 14 Maret 96 orang. Dan kini 29 Maret, jumlah itu melonjak menjadi 1.285 orang. Penyebaran virus Corona ternyata sangat cepat sekali. Indonesia seperti baru saja mengambil lotere yang hadiahnya justru malapetaka.

Pemerintah lalu menyerukan anjuran soal physical distancing untuk mencegah penyebaran virus ini. Semua warga dihimbau untuk tetap berada di rumah–bekerja dari rumah, ibadah di rumah dan susah senang di rumah. Semuanya harus tetap dilakukan di rumah. Praktis jalanan jadi sepi dan pusat-pusat keramaian banyak yang ditutup. Beberapa daerah mulai melakukan karantina wilayah sampai batas waktu yang belum ditentukan. Tasikmalaya, adalah salah satu daerah itu.

Istri yang mestinya pulang ke Bogor untuk kembali bekerja pada 4 April nanti, harus membatalkan rencananya. Saya yang biasanya rutin dua minggu sekali pulang ke Tasikmalaya, sejak dua minggu lalu sudah tidak bisa menunaikan rutinitas itu. Semua rencana, impian, agenda besar, agenda kecil, keinginan-keingin receh untuk sekadar jajan tahu campur di jalan Jatipadang, Pasar Minggu harus tertunda semua gara-gara Corona.

Corona bak fenomena angsa hitam yang tak pernah terprediksi. Mendadak dan memberikan efek besar. Bagaimana mungkin, virus yang pertama kali muncul di dataran Wuhan, China–yang jaraknya beribu-ribu kilometer dari Indonesia—kini bisa dengan cepatnya berkunjung ke Jakarta. Corona membuyarkan segala sesuatu yang rentan.

Dari sini saya merenung, kita selalu siap dengan kejutan manis. Namun kerapkali alpa dengan kejutan yang perih. Berharap dua milliar, yang datang justru virus yang menghantui miliaran umat manusia.

Ayah Tanpa Nasehat

Ketika saya masih duduk di bangku SMP, saya pernah mengaji kitab Washoya Al-Abaa’ lil Abnaa’ karangan Syaikh Muhammad Syakir. Kitab itu termasuk salah satu kitab klasik tentang pelajaran akhlak Islam yang masyhur dalam tradisi pesantren.

Waktu itu saya masih punya semangat tinggi terhadap kajian Islam. Sekarang, saya justru kerapkali lalai dan lupa dengan ajaran yang pernah saya pelajari dulu. Tapi syukurlah, pelajaran mengaji yang secuil itu kadang bisa jadi pengingat yang baik.

Kembali ke kitab Washiloya tadi. Kenapa saya tiba-tiba teringat kitab klasik itu? Karena, sebulan yang lalu saya baru saja mengkhatamkan buku berjudul Dear River, karya Fauzan Mukrim.

Fauzan adalah ayah dari dua orang anak. River adalah anak pertamanya. Satu lagi namanya Rain–kalau saya tak salah ingat. Jadi kira-kira, buku ini seperti kumpulan wejangan untuk si River. Meskipun saya tak yakin bahwa Fauzan memang sedang memberi nasehat.

Saya membelinya langsung dari penulisnya. Saat sang penulis hendak menjalankan ibadah salat Jumat. Sungguh, momen akad jual beli buku itu seperti mengisyaratkan bahwa buku ini memang soal akhlak yang Islami. Subahanallah ya!

Tapi yang saya tangkap, dalam Dear River, sang penulis justru tidak ingin tampak sebagai seorang ayah yang bijak bestari. Fauzan hanya ingin menjadi ayah biasa saja, yang kadang naif dan menginsafi kebodohannya sendiri.

Fauzan bercerita tentang banyak hal: pekerjaannya, keluarganya, asmaranya hingga kebodohannya.

Satu hal yang menarik: Fauzan sering menautkan satu kejadian dengan buku yang pernah dia baca. Fauzan seperti ingin menulis dengan gaya yang mungkin agak eksiklopedik. Mirip-mirip seperti gaya Goenawan Mohamad (GM) saat menulis catatan pinggir (caping). Bedanya hanya pada kadar keseriusannya saja, saya kira.

Walaupun tak seserius GM ketika menulis caping, Fauzan juga berusaha mengejewantahkan nilai-nilai mulia yang dia yakini. Salah satu yang paling tegas ia tonjolkan adalah soal nilai kejujuran.

Fauzan bercerita bahwa pekerjaannya sebagai wartawan rentan sekali dengan suap atau yang lebih populer dikenal dengan istilah jale. Berulangkali Fauzan punya kesempatan untuk mencicipi uang subhat itu. Tapi ia tangguh. Bahkan, ia tiada bosan mengingatkan calon istrinya agar tak tergiur dengan godaan itu.

Tak hanya soal nilai kejujuran. Fauzan juga tak sungkan untuk menceritakan kekonyolan masa mudanya. Saat dia sok-sokan mentrasnkrip sebuah lirik lagu berbahasa inggris, yang ternyata banyak salahnya.

Cerita itu seperti kering dari hikmah. Padahal, yang saya tangkap, Fauzan ingin mengajarkan kepada River bahwa tak ada yang salah dengan kekeliruan. Semua bisa diperbaiki ketika kita banyak belajar dan semakin tahu. Hal yang salah ialah ketika kita tidak jujur. Mungkin itu.

Saya mencoba mengingat, sepertinya saya pernah membaca buku yang agaknya mirip dengan buku Dear River.

Setelah berusaha mengingat, muncullah nama Fahd Djibran. Dulu Fahd pernah menulis buku Yang Galau Yang Meracau dan Perjalanan Rasa. Bentuk tulisannya mirip dengan Dear River. Menyampaikan nilai mulia melalui cerita.

Nama Fauzan barangkali tidak seterkenal Fahd Djibran yang kini ingin dipanggil Fahd Padhephie itu. Fauzan mungkin juga belum sekaya Fahd yang sudah punya beberapa lini bisnis.

Oiya, tapi mereka berdua juga punya kesamaan di luar tulisan. Huruf depan nama mereka sama-sama F. Mereka juga sama-sama tinggal di Tangerang Selatan. Hanya saja, Fauzan belum ingin mencalonkan diri sebagai Walkot Tangsel. Sedangkan Fahd sedang dalam proses mengincar jabatan itu.

Oh, apa pun itu, Fauzan punya yang lain: kelugasan yang jernih. Dia hanya ingin menulis untuk dirinya dan anaknya. Percakapan yang transenden antara anak dan ayahnya. Percakapan yang tak ingin disorot lampu panggung. Percakapan yang suci dari rasa pamrih akan popularitas. Fauzan adalah ayah tanpa nasehat.

Anda mungkin bisa tidak bersepakat dengan saya. Maka dari itu, silakan mulai untuk membaca buku ini.